Oh there’s a very pleasant side to you
A side I much prefer,
It’s one that laughs and jokes around
Remember cuddles in the kitchen
Yeah, to get things off the ground
And it was up, up and away
Oh, but it’s right hard to remember
That on a day like today when you’re all argumentative
And you’ve got the face on
Sebelum gue bahas soal lirik lagu Arctic Monkey diatas ( note : sumpah gue dengerin lagu ini bukan karena pengen ikut – ikutan anak muda sekarang ), gue harus ucapin selamat buat diri gue sendiri karena akhirnya gue nulis lagi, ya mungkin curhatan gak jelas tapi setidaknya gue nulis lagi.
Entah udah berapa tahun dari terakhir gue nulis, yang pasti sekarang udah mau masuk tahun kedua gue tinggal di Jakarta. Ada satu dua kehilangan yang masih terasa kelu sampai sekarang. Ada banyak pencapaian namun tidak sedikit juga kegagalan.
Salah satunya sahabat diskusi gue, partner kompak soal bacaan kebetulan kita sama – sama impulsif buyer kalo soal buku plus J.B Kristanto nya gue kalo ngebahas film akhirnya memutuskan menikah (selamat chie).
Setelah gue mutusin buat nutup semua komunikasi gue bareng dia, dan ketemu beberapa wanita dengan karakter yang berbeda – beda. Gue akhirnya punya pandangan baru terhadap wanita, gue mulai melunak soal pilihan. Jujur sebelumnya gue adalah orang dikenal postulat kalo nikah itu masuk kotak, gak yakin kalo gue bisa berkompromi buat merelakan kehidupan yang gue anggap adalah jati diri gue sendiri.
“Life is a funny way” begitulah kalo boleh mengambil sepenggal lirik dari lagu Ironic milik penyanyi yang lahir tanggal 1 Juni Alanis Morisette. Yap..!! Tuhan memang sang komedia agung, disaat transisi pemikiran gue, tiba – tiba gue dapetin seorang gadis yang menurut gue pas ( “Cantik”menurut orang – orang yang gue kenal ).
Gue mulai membuka hal – hal baru bareng dia ( dia pasti tahu apa saja hal – hal yang buat pertama kalinya gue lakuin ). Bareng dia gue berani mencoba, berani terbuka dan yang ajaib akhirnya gue berani bilang kalo dia adalah pilihan yang bakal gue jadiin pendamping.
Manis dan romantis seperti lirik lagu Mardy Bum diatas.
Dalam perjalanan gue sadar, dia adalah kupu – kupu yang kadang – kadang rentan sementara gue adalah batu yang keras. Kita berdua sadar dan akhirnya saling berusaha menyeimbangkan. Sementara dia berhasil menyeimbangkan dirinya untuk menjadi lebih kuat, gue yang secara gender dan usia harusnya lebih bisa berkembang malah gagal dihantam ego. EGOIS begitu dia biasa menyebutnya.
Yeah I’m sorry I was late
Well I missed the train
And then the traffic was a state
And I can’t be arsed to carry on in this debate
Then reoccurs, oh when you say I don’t care
Well of course I do, yeah I clearly do!
Balik ke lirik lagu Mardy Bum diatas, seperti kisah gue akhirnya gue sampai di moment tersebut. Gue coba menuliskan makna dari liriknya. Ketika diantara kita tidak menemukan cara untuk romantis lagi. Ketika kita marah dengan hal – hal kecil yang sebenarnya bisa untuk dimaafkan, Ketika hanya ada perdebatan yang tidak selesai, ketika perbincangan ringan kemudian menjadi sebuah pertengkaran yang tidak akan pernah ada habisnya, dan masing – masing sudah merasa muak.
Gue pernah pakai sebuah kutipan dari seorang filsuf termashur dari Prancis Sartre “Orang lain adalah neraka” waktu gue nulis yang gue lupa lagi kapan dan untuk apa. Tapi rasanya kutipan tersebut pas sekali buat gue sekarang. Bukan…bukan untuk gue bilang kalau dia adalah neraka buat gue. Justru kutipan itu jadi bahan perenungan buat gue.
Semua sikap dan tingkah laku gue yang sudah masuk taraf “Brengsek dan “Bangsat”. Di dalam atau di luar kesadaran gue, gue justru malah jadi orang lain / neraka buat dia. Gue menunjuk kotoran kecil di muka dia, tanpa gue berkaca ke diri sendiri bahwa di muka gue sendiri penuh dengan kotoran.
Di samping itu semua, gue selalu merasa jadi orang yang paling benar. Alih – alih janji gue yang mengajak dia tumbuh bersama secara nature dan nurture, gue malah memaksakan kehendak memproses pendewasaan dia secara karbitan. Seperti layaknya sebuah buah rasanya tidak akan senikmat ketika dia matang dengan sendirinya.
People call these things imperfection, but they’re not, that’s the good stuff.
And then we get to choose who we let into our weird little worlds
You’re not perfect sport. And let me save you in suspense.
This girl you meet, she isn’t perfect either.
But the question is :
Whether or not you’re perfect for each other. That’s the whole deal. That’s what it’s about.
Dialog Robin William ke Mat Deamon di film favorit gue God Will Hunting terasa nampar gue. Padahal gue udah tonton film ini berkali – kali. Demi semua buku dan film inspirational yang udah gue lahap, gue sadar gue cuma sekedar menikmati tanpa mempelajari apapun.
Harusnya gue menerima semua kekurangan dia, karena jujur sekarang sikap lucu, kadang polos dan moody nya dia yang dulu sering gue keluhin justru adalah hal yang paling gue kangenin dari dia.
“Real loss is only possible when you love something more than you love your self”
Masih kutipan dari film yang sama, dengan segala kerendahan hati gue jujur harus gue bilang gue bener – bener kehilangan dia.
Kalo boleh ber andai – andai ingin rasanya gue kembali di moment semuanya baru dimulai, di tanggal 16 Maret. Atau setidaknya gue dikasih lagi kesempatan buat perbaikin ini semuanya, kesempatan yang memang gak layak gue dapetin karena sudah berkali – kali gue diberi kesempatan.
Sebagai penutup harapan gue, biar lirik Mardy Bum menutup nya.
Can’t we laugh and joke around?
Remember cuddles in the kitchen,
Yeah, to get things off the ground
NB : P.S I Love U